Pengungkapan & Investigasi

Kasus Mahasiswa Universitas Udayana yang Bunuh Diri

Kasus Mahasiswa Universitas Udayana yang Bunuh Diri

Kasus Mahasiswa Universitas Udayana yang Bunuh Diri – Kabar duka meliputi situs kampus dan jagad maya saat salah seorang mahasiswa di Universitas Udayana (Unud), Bali, mengakhiri hidupnya dengan cara yang menyedihkan. Peristiwa tersebut bukan hanya soal kematian mahasiswa, namun juga membuka banyak persoalan terkait tekanan psikologis, perundungan (bullying), serta budaya kampus yang kurang tanggap akan isu kesehatan mental. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri kronologi, pengungkapan pihak kampus dan aparat, dampak sosial serta pesan penting yang bisa diambil bersama.

Kronologi Kejadian

Pada Rabu, 15 Oktober 2025, mahasiswa berinisial TAS (21 atau 22 tahun, tercatat slot server thailand sebagai mahasiswa semester VII Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud) ditemukan dalam kondisi kritis setelah melompat dari gedung kampus.
Lokasi yang dilaporkan adalah di gedung FISIP Unud, Jalan Sudirman, Denpasar, Bali. Hasil penyelidikan awal polisi menyebutkan bahwa korban melompat dari lantai empat gedung kampus.
Korban sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Ngoerah, Denpasar, namun nyawanya tidak tertolong.

Selang beberapa hari, publikasi berita memunculkan dugaan bahwa faktor perundungan menjadi pemicu. Tangkapan layar percakapan grup WhatsApp yang dipercaya berisi ejekan terhadap korban beredar luas setelah kejadian.
Di sisi lain, pihak fakultas menyatakan bahwa perundungan oleh teman sesama mahasiswa bukanlah penyebab langsung kematian. Wakil Dekan III FISIP Unud menyampaikan bahwa korban di ketahui mempunyai riwayat gangguan kesehatan mental sejak SMP dan sempat menjalani terapi, namun menolak melanjutkan terapi ketika memasuki perguruan tinggi.

Pengungkapan & Investigasi

Pihak kepolisian telah melakukan penyelidikan terhadap slot new member 100 kasus tersebut. Dari laporan, selain memeriksa saksi­, aparat juga mengecek perangkat elektronik korban ponsel dan laptop untuk mencari petunjuk apa yang memicu aksi bunuh diri tersebut.
Sementara itu, kampus Unud melalui Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) menyatakan akan melakukan investigasi internal mengenai dugaan perundungan dan menetapkan sanksi apabila terbukti keterlibatan mahasiswa lain.

Beberapa mahasiswa diketahui telah melakukan ejekan terhadap korban dalam grup percakapan daring. Kampus dan fakultas merekomendasikan sanksi berupa pengurangan nilai soft skill semester berjalan atau bahkan tidak lulus, serta pemberhentian tidak dengan hormat dari organisasi mahasiswa.

Namun, penting di catat bahwa pihak fakultas menegaskan bahwa para pelaku perundungan tersebut bukan teman sekelas korban dan kejadian ejekan terjadi setelah kematian korban.

Faktor Penyebab & Dinamika Kesehatan Mental

Kasus ini mencerminkan kompleksitas faktor yang bisa membawa seorang mahasiswa ke titik krisis. Beberapa poin penting:

  • Riwayat gangguan kesehatan mental: Wakil Dekan FISIP menyebut korban memiliki riwayat kesulitan psikologis yang mendapat perhatian konselor saat SMP.
  • Tekanan akademik dan sosial: Mahasiswa tingkat akhir pada umumnya menghadapi beban akademik, tugas akhir, pergaulan baru, ekspektasi keluarga dan kampus faktor-­faktor ini meningkatkan kerentanan kesehatan mental.
  • Perundungan dan ejekan daring: Walaupun pihak kampus menyebut bahwa ejekan tersebut muncul setelah kematian korban, publikasi tangkapan layar menunjukkan betapa cepatnya lingkungan daring bisa memperparah trauma bagi korban dan keluarganya.
  • Kurangnya dukungan sistemik yang tampak: Kasus ini mengundang pertanyaan tentang seberapa kuat sistem bimbingan psikologis, layanan konseling, dan budaya kampus yang mengizinkan mahasiswa untuk terbuka soal kondisi mental mereka.

Dari penelitian umum di ketahui bahwa mahasiswa adalah kelompok yang rentan mengalami ide bunuh diri, berhubung berada pada fase transisi dan tekanan yang signifikan.

Dampak Sosial & Reaksi Publik

Kejadian ini memicu reaksi keras dari masyarakat, media, dan komunitas mahasiswa. Beberapa hal yang muncul:

  • Ejekan terhadap korban menjadi viral, memunculkan kemarahan publik terkait etika media sosial dan lingkungan kampus.
  • Pihak kampus mendapatkan sorotan atas penanganan mereka—apakah cukup cepat dan tepat dalam menanggapi sinyal bahaya dari mahasiswa yang berisiko.
  • Pemicu diskusi lebih luas tentang pentingnya layanan kesehatan mental di kampus, perlunya budaya empati, dan tindakan konkret untuk mencegah kejadian serupa.
  • Sanksi yang di jatuhkan terhadap mahasiswa yang melakukan ejekan dipandang oleh beberapa pihak masih belum sebanding dengan dampak yang di timbulkan terhadap korban dan keluarganya.

Pelajaran untuk Kampus dan Mahasiswa

Kasus ini membawa beberapa pesan penting yang patut di simak oleh kampus, mahasiswa, dan masyarakat umum:

  1. Kesehatan mental bukan hanya masalah pribadi — Mahasiswa dengan tekanan akademik atau psikologis membutuhkan sistem dukungan yang mudah di akses.
  2. Deteksi dan intervensi awal sangat penting — Institusi kampus perlu memiliki mekanisme proaktif untuk mendeteksi mahasiswa yang mengalami kesulitan.
  3. Budaya kampus yang sehat harus inklusif dan empatik — Kampus harus membangun kultur aksi preventif, penghargaan empati, dan penguatan komunitas yang saling mendukung.
  4. Peran media sosial dalam lingkungan kampus — Kasus ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi jalur perundungan cepat.
  5. Respons institusi yang transparan dan berkeadaban — Ketika tragedi terjadi, kampus harus bertindak cepat, adil, dan terbuka dalam penanganan kasus.